Ketika Kekuatan Fans Menggagalkan Rencana Para Pemilik Klub

Bagi fans, keterlibatan ‘Big Six’ di Liga Super Eropa telah menodai nilai-nilai luhur sepakbola dan kini mereka layak dijuluki ‘Shameless Six’.

Semua sepakat, revolusi akan selalu dibutuhkan dalam sepakbola, dan diharapkan setiap tahun ada pergerakan serta terobosan baru. Namun, revolusi bukan berarti memonopoli sepakbola. 

Dalam dua hari ke belakang, wacana pembentukan Liga Super Eropa menyedot perhatian publik. 12 klub elite Eropa sepakat menjadi pionir breakaway competition

Liverpool, Manchester United-City, Chelsea, Arsenal dan Tottenham Hotspur — yang biasa kita sebut ‘Big Six‘ di Liga Primer Inggris — bergabung dengan trio mapan La Liga Barcelona, Real-Atletico Madrid serta tiga ujung tombak Serie A Italia Juventus, Inter-AC Milan untuk mendeklarasikan Liga Super, Senin (19/4) lalu.

Mulai dari para pemain, pelatih, legenda, fans, pengamat, federasi di setiap liga, bahkan pemerintah, mengutuk keras gagasan Liga Super yang kental dengan nuansa kepentingan pribadi para pemilik klub dengan kekuatan finansial luar biasa.

Perlu diketahui, Liga Super ini tidak dalam naungan UEFA. Badan tertinggi sepakbola Eropa itu malah turut mengecam ide pemisahan kompetisi. Berbagai kalangan menganggap, kehadiran Liga Super akan menghancurkan tatanan serta mengubah lanskap sepakbola yang sudah ada selama ini.

Setelah menerima protes luas dari banyak pihak, termasuk gerakan masif dari fans yang menentang keras keikutsertaan klub kesayangan mereka, kurang dari 48 jam setelah Liga Super dideklarasikan, satu per satu Big Six melunak dan memutuskan untuk mundur dari liga kontroversial ini.

Dalam pengumuman resmi masing-masing, Man United-City, Liverpool, Chelsea, Arsenal dan Spurs mencabut diri dari proposal Liga Super yang telah disetujui masing-masing.

Big Six yang selama ini diakui sebagai kekuatan terbaik sepakbola Inggris, kini lebih layak dijuluki sebagai ‘Shameless Six‘ atau ‘enam klub Inggris yang tidak tahu malu’.

Wajar bila sekarang para pemilik Shameless Six jadi musuh bersama fans. Laiknya kudeta politik antara penguasa dan rakyat ketika melihat fans enam klub raksasa Inggris ini berbondong-bondong mendatangi stadion masing-masing untuk melancarkan amarah mereka terhadap pemangku kuasa di klub.

Fans Chelsea misalnya. Mereka menghadang bus tim yang hendak masuk ke Stamford Bridge sebagai bentuk protes mereka sesaat sebelum kick-off laga kontra Brighton and Hove Albion tadi malam. 

Di Old Trafford, gelombang kecaman fans berujung pada pengunduran diri Ed Woodward selaku wakil kepala eksekutif Man United, meski telah dikonfirmasi kalau keputusan itu bukan disebabkan karena kekisruhan Liga Super.

Fans Liverpool lebih ekstrem. Mereka satu suara siap meninggalkan tim kesayangannya apabila klub benar-benar mewujudkan perhelatan ESL.

Sudah seharusnya memang para pemegang kuasa di klub mengembalikan kekuatan sepakbola ke tangan para fans. Sepakbola bukan permainan eksklusif, ia adalah permainan rakyat, permainan yang menggembirakan, bukan milik segelintir elite melainkan para kelas pekerja.

Dewasa ini, sepakbola tak lagi menjunjung nilai-nilai luhur sebuah tim. Bagi sebagian elite klub, sepakbola tak lebih dari urusan bisnis, sementara fans adalah basis pelanggan yang harus dieksploitasi entah itu untuk berlangganan tv berbayar, tiket musiman atau merchandise. Hal ini memungkinkan para spekulan tajir melakukan apa saja yang mereka suka. Para suporter seperti dihipnotis untuk membiarkan warisan klub tergadai kepada miliarder asing yang menginginkan uang berdatangan secara instan.

Tak mengherankan jika Arsenal dikuasai Stan Kroenke, Liverpool dimiliki John W Henry dan keluarga Glazer ada di Man United, yang semua orang-orang ini berkebangsaan Amerika Serikat, sementara Chelsea dikendalikan taipan Rusia Roman Abramovich dan Manchester City berbau Timur Tengah di tangan Sheikh Mansour.

Namun, tidak semua klub elite punya syahwat memonopoli sepakbola. Klub terbaik dunia saat ini, Bayern Munich, contohnya. Mereka tetap kuat dengan kultur dan akar kelembagaan mereka dengan kembali kepada komunitas dan basis fans dan melawan agitasi masif Liga Super ini.

Shameless Six boleh dimiliki oleh para elite. Tapi penguasa klub bisa pergi sesuka hati mereka, bisa hari ini, esok atau yang akan datang. Namun fans, akan loyal sampai mati.

Artikel ini telah tayang di situs Goal.com dengan judul asli Bukan ‘Big Six’, Mereka ‘Shameless Six’: Man United-City, Liverpool, Chelsea, Arsenal & Spurs oleh Anugerah Pamuji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *